Allah dan Hukum-Nya

 Di Gunung Sinai, TUHAN memberikan sepuluh titah. Decalogue -10 kalimat- adalah perkataan TUHAN yang disampaikan langsung di hadapan bangsa Israel. Kisah ini tertulis di Keluaran 20:1-21.

Me, Myself and I

Pada masa posmodern ini, aturan dibuat tanpa konsensus moral. Orang membuat aturan dan hukumnya sendiri. Dan parahnya, semuanya berbasis pada relatifisme moral. Semua tergantung pada standar moral pembuatnya. Tergantung pada preferensi pembuat aturan itu. Coba kita lihat beberapa poin yang mungkin pernah kita dengar:
  • Ibadah di rumah sama aja kok seperti ibadah di gereja. Jadi, untuk apa pergi ke gereja?
  • Tidak apa-apa berbohong untuk kebenaran. Selama tidak ada yang dirugikan.
  • Kalau bisa besok, kenapa harus sekarang?
  • Kita bisa berbuat sesuka hati kita. Nanti malam berdoa minta ampun. Suci deh. Besok buat lagi.
  • Robin Hood adalah pahlawan. Dia mencuri dari orang kaya korup dan membagikannya kepada orang miskin. 
  • Dia jahat. Maka sepantasnya juga dia dijahati.
Semuanya ini kita buat hanya berdasarkan preferensi moral kita. Tanpa kita sadari, aturan-aturan, hukum yang seperti ini ternyata bertentangan dengan hukum Allah. Fokus kita adalah kebenaran kita sendiri. Yang sudah diserongkan oleh keberdosaan kita. Sehingga semua hukum moral kita berfokus pada tritunggal palsu: me. myself and i. Aku, aku dan aku. Selagi semuanya menguntungkanku, maka itulah yang benar. Selama segala sesuatu memuaskan keinginan dan hawa nafsuku, maka tidak ada yang salah dengan itu. Aku berhak menuntut segala sesuatu dari orang lain, karena aku memiliki banyak hal yang harus dipenuhi. Manusia adalah makhluk sosial, maka semua orang ada di dunia untukku. Aku adalah orang terpenting di dunia. 
Saya melihat inilah yang terjadi di masa ini. Ini terjadi kepada semua orang. Termasuk saya dan kita.

Itulah sebabnya kita selalu perlu melihat kepada Hukum yang datang dari Allah. Dan apa yang ditunjukkan oleh Hukum itu.

Decalogue


Decalogue
yang datangnya dari Tuhan pastilah merefleksikan karakter ilahi-Nya. Hukum dan aturan secara umum menyingkapkan sesuatu dari pembuat hukum. Aturan yang tidak adil sering datang dari pembuat aturan yang tidak adil. Hukum yang teratur biasanya datang dari pembuat hukum yang teratur juga. Aturan-aturan yang kita terapkan kepada anak-anak, ataupun rekan sekerja di kantor menggambarkan pribadi kita. Hukum dan aturan menyingkapkan karakter pembuatnya.

Inilah juga yang terjadi di Gunung Sinai, dimana setiap dari Sepuluh Titah menunjukkan aura Ilahi dan karakter Allah. Apa saja yang bisa kita lihat?

Titah Pertama adalah: Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Sangat jelas bahwa Allah yang memberi perintah ini adalah Allah yang Cemburu. Ia tidak akan berbagi kemuliaan dengan ilah-ilah lain. Dan memang sepantasnya demikian, karena Ia adalah satu-satunya Tuhan. Ilah lain hanyalah peniru, pengganti dan bukan allah yang sebenarnya. Titah pertama mendeklarasikan kemahakuasaan yang unik dari satu-satunya Allah yang boleh berkata: "Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain." (Yes. 45:18). Titah ini juga mengindikasikan kemahahadiran Allah (omnipresence), karena dalam titah ini tidak boleh ada allah lain di hadapan-Nya.

Titah Kedua adalah: Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. (4). Titah ini adalah tentang menyembah Allah yang benar dengan cara yang benar. Allah tidak diingin disembah secara fisik, karena Dia adalah Roh. Dengan menyebut langit di atas dan bumi di bawah dan juga air, Ia menyatakan bahwa Ialah Sang Pencipta. Masalah dari penyembahan berhala adalah: kita menukar Sang Pencipta dengan ciptaan. Titah ini juga menunjukkan kasih dan keadilan Allah: "Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku." (5-6). Allah yang memberikan titah ini adalah Allah yang menarik batas moralitas absolut. Dia menghukum pendosa dan juga Dia menunjukkan kasih-Nya dari generasi ke generasi dari orang-orang yang dipilih-Nya untuk diselamatkan.

Titah Ketiga adalah untuk menghormati nama Allah: "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan." (7). Ancaman hukuman pada titah ini menyiratkan bahwa Allah harus ditaati. Orang yang melanggar titahnya akan dipandang bersalah. Titah ini sendiri menyatakan bahwa Allah itu sangat mulia, dan oleh karena itu harus diperlakukan dengan hormat yang setinggi-tingginya. Bahkan nama-Nya saja kudus.

Titah Keempat adalah "Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu." (8-10). Titah ini menunjukkan bahwa Allah berkuasa di dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah Tuhan atas setiap hari. Titah ini juga menggambarkan sebuah hubungan antara  apa yang diperintahkan dengan  Pemberi perintah, antara Allah dan hukum-Nya:  "Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya." (11) Kita diperintahkan untuk bekerja dan juga untuk beristirahat karena kita melayani Allah yang bekerja dan beristirahat pada waktu-Nya.

Keempat titah awal mengatur hubungan kita dengan Allah; enam selanjutnya mengatur hubungan kita dengan sesama. Tetapi demikianpun, di dalamnya tetap tersirat atribut Ilahi. Titah Kelima bicara tentang menghormati otoritas: "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (12). Titah ini membuat kita membayangkan otoritas Ilahi Allah sebagai Bapa kita. Titah ini juga merupakan titah pertama yang disertai dengan sebuah janji -janji hidup dengan umur panjang di tanah yang diberikan Tuhan- menunjukkan betapa baiknya Tuhan yang menyediakan bagi umat-Nya.

Titah Keenam adalah "Jangan membunuh" (13). Titah ini mengingatkan kepada kita bahwa Allah-lah pemberi kehidupan. Dia melarang kita mencabut nyawa orang yang tak bersalah karena Dia adalah Sang Pemberi-Hidup. Lebih jauh lagi, titah ini mengingatkan kepada kita bahwa Ialah yang berkuasa atas hidup dan atas kematian.

Titah Ketujuh, seperti yang semua ketahui adalah: "Jangan berzinah." (14). Seperti apa kita melihat Allah dari titah ini? Titah ini memberitahu kita bahwa Allah itu Kudus. Allah itu juga setia. Dia adalah adalah yang setia kepada perjanjian-Nya. Dan Ia juga memerintahkan agar kita juga menjaga perjanjian dengan-Nya. Titah ini juga menunjukkan bahwa Dia adalah Allah atas sukacita, karena perintah ini menjaga seks hanya untuk persekutuan dalam pernikahan.

Titah Kedelapan adalah: "Jangan mencuri." (15). Tuhan yang memberi perintah ini adalah Allah Pencipta dan Penyedia. Melakukan perintah ini berarti mengakui bahwa segalanya adalah milik Allah, dan oleh karena itu kita tidak berhak mengambil apa yang sudah diberikan-Nya kepada orang lain.

Titah Kesembilan bicara tentang mengatakan kebenaran: "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu." (16). Titah ini datang dari Allah yang Benar dan Jujur. Yang benar dalam segala Firman-Nya, dan benar dalam segala laku dan putusan-Nya. Seperti yang ditulis dalam Alkitab: "Lagi Sang Mulia dari Israel tidak berdusta" (1 Sam. 15:29).

Titah Kesepuluh bicara tentang rasa cukup dan syukur: "Jangan mengingini..." (17). Terjemahan kata mengingini dalam titah ini bisa juga berarti: tamak, ingin yang mengebu-gebu dan berlebihan. Keinginan yang menggebu, yang cenderung tamak ini, datang dari rasa ingin memiliki apa yang Allah belum ataupun tidak berikan kepada kita. Sama seperti titah kedelapan, menjaga titah ini memerlukan iman kepada pemeliharaan Allah. Allah memerintahkan kita untuk tidak mengingini sebab Ia bisa diandalkan untuk memenuhi segala kebutuhan kita. Ialah Jehova Jireh

Rangkuman

Sepuluh titah ini dirangkum oleh Yesus menjadi kasih"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu." (Mat. 22:37, bnd. Ul. 6:5; Im. 19:18; Rom. 13:9). Dengan kata lain, kesepuluh titah bisa dikompres menjadi dua perintah: kasihi Allah dan kasihi sesama. Kita mengasihi Allah dengan sepenuhnya hanya menyembah dan beribadah kepada-Nya, memberi penghormatan dan kemuliaan hanya bagi-Nya. Menyediakan waktu bagi-Nya dan taat kepada perintah dan ketetapan-Nya.
Dan karena kasih kita kepada Allah, maka kitapun akan mengasihi sesama kita. Sama seperti Allah mengasihi kita. Kita akan mengasihi suami/istri kita. Kita mengasihi orang lain dengan menghargai hidup mereka, menghormati kepemilikan mereka dan bicara jujur kepada mereka. Kesepuluh titah yang bercerita tentang kasih ini menunjukkan karakter Allah: Mahakuasa, cemburu, adil, kudus, mulia, setia, menyediakan dan murah hati, penuh kebenaran dan kasih. Kita tidak bisa memisahkan hukum-hukum Allah dengan kasih-Nya.

Referensi

Tulisan ini disadur dari buku: Written In Stone: The Ten Commandments and Today's Moral Crisis, Philip Graham Ryken, 2003, diterbitkan oleh Crossway Books, Bab I, hal. 14-17

Comments

Popular posts from this blog

Pilihan Mudah(?)

Ketakutan Yang Tidak Terbukti